Monday, April 02, 2007

Hi ya'll ....

It's been a while since my last post.
A lot of thing happened .....

Let me begin again with E.E. Cumming's poet ...


i carry your heart with me
(i carry it in my heart)
i am never without it
(anywhere i go you go, my dear;
and whatever is doneby only me is your doing, my darling)

i fear no fate
(for you are my fate, my sweet)
i want no world
(for beautiful you are my world, my true)
and it's you are whatever a moon has always meant
and whatever a sun will always sing is you.

here is the deepest secret nobody knows
(here is the root of the root and the bud of the bud
and the sky of the sky of a tree called life;
which grows higher than the soul can hope or mind can hide)
and this is the wonder that's keeping the stars apart

i carry your heart
(i carry it in my heart).

Monday, November 06, 2006

Juara rekayasa gerak ...

Ini sebuah contoh dari kekompakan dan kerjasama tim yang sangat baik ...


Wednesday, November 01, 2006

Alhamdulillah .....

Setelah berlama-lama dengan moderate el nino, Makassar akhirnya diguyur hujan hari ini. Tepat pada 1 Nopember 2006, pukul 14.35 Waktu Indonesia Tengah.
Walau berarti tidak jadi latihan bulutangkis, tapi its ok lah ......
Sudah sedemikian banyak orang yang mendambakan hujan ini .....
Utamanya kawasan highlands, sperti BTP (hampir di semua blok), Perumdos, sampai ke daerah-daerah ujung selatan.
Skali lagi .... alhamdulillah ....

Hujan akhirnya turun juga ....


Peace,

LTB

Friday, October 20, 2006

Cerita tentang Orang-orang Kalah (#4)

Setelah panas sekian lama, akhirnya hujan pun datang. Seperti juga panas, sekali datang susah berhentinya. Terkadang sampai seminggu tak berhenti. Akibatnya, banjir dimana-mana. Depan kampus, dekat gedung DPRD, simpang Tol bahkan di DAK (baca: Daerah Aliran Kanal). Kenapa bisa ya? Pan kanalnya besar? Mana dalam lagi! Kok masih juga gak bisa menampung air hujan? Apa karena salah alam? Atau mungkin malah kita yang terlalu sombong terhadap alam? Atau karena bakalan ada pengosongan massal DAK, yang bakal dijadikan Mal Super Hebat dan Super Megah? Entahlah ...... yang penting sekarang, dimana-mana air tergenang.
Genangan air, ternyata juga membawa penyakit. Sebuah rumah sakit di tengah kota, sekarang ini penuh dengan pasien penderita demam berdarah. Lho, kan Aedes Agepty itu hanya bisa bertelur dan berkembang biak di air tenang? Masa sih bisa begitu di kubangan, genangan berlumpur atau kanal dengan sekumpulan sampah organik dan anorganik? Mati aku! Apa ada evolusi nyamuk secara dadakan dalam waktu singkat? Usut punya usut, hampir semua rumah di kawasan DAK ternyata “menyumbang” anggota keluarganya ke rumah sakit. Masuk dengan predikat “Dengue Fever Patients”. Mengenaskan. Kenapa mereka yang masuk ya? Kan mereka jarang bersentuhan dengan air bersih?
Terdorong rasa heran dan sedikit linglung; kucoba meninjau lokasi. Rumah demi rumah di kawasan DAK itu kudatangi. Kudata segala hal tentang kondisi kesehatan keluarga, rumah serta sanitasi. Pada hari ketiga pendataan, keherananku memuncak. Aku dengan pakaian ala kadarnya, disambut Ketua RT dan seabrek orang DAK. Ada rebana segala. Weleh weleh weleh ........ ada apa ini? Seorang dengan pakaian safari menyalamiku sopan, “Selamat datang pak, semoga segala pendataan bapak ini bisa dilakukan tanpa halangan. Kami siap membantu apa saja”. Benar-benar mengherankan. Seorang pria, yang sepertinya ajudan bapak yang bersafari itu, mempersilahkanku jalan duluan dan mulai membantuku mengambil data.
Selang sepuluhan rumah dan tatkala orang-orang mulai tidak mengikuti kami, dia mulai bicara, “Aduh pak, untung sekali bapak datang. Sekarang ini ada penyakit berbahaya menyerang kampung ini pak. Kata orang sih, namanya DBD. Kalau data yang bapak ambil ini bisa buat rekomendasi ke pemerintah kota untuk segera diadakan tindakan, wah ..... kami sungguh berterima kasih sekali pak”. Aku cuma tersenyum mengangguk. Tanpa sadar, mataku menangkap keanehan. “Pak, kok semua rumah punya kolam ikan?”, tanyaku heran. “Ooo ... itu bukan kolam ikan pak, itu bak air. Biasalah pak, untuk mandi dan minum. Pan daerah ini belum ada air ledeng? Dulu pernah kami minta, namun semua jawaban yang kami terima dari pemerintah hanya sabar pak ... sabar bu’ ... Yah, emang mungkin karena daerah kumuh yah? Sampe pemerintah ogah-ogahan bantu kami”, katanya lancar. Terasa mataku mulai nanar ... pucat pasi sepertinya wajahku. Jadi selama ini, DBD menyerang mereka akibat tidak ada air ledeng lewat pipa; sampai-sampai mereka harus menampung air hujan di bak-bak. Pantas saja, nyamuk-nyamuk heboh itu memangsa mereka. Seketika muka pucatku berubah merah. Kurang ajar!!! Tapi sekejap berubah pucat kembali. Dua buldozer lengkap dengan serombongan polisi pamong praja, baru saja masuk areal DAK. Mal itu ternyata benar-benar bakal ada. Dan rumah-rumah ini berada di tempat yang salah. Lututku lemas .....

Cerita tentang Orang-orang Kalah (#3)

Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, menyisakan sesak dalam dada yang teramat sempit. Sesak oleh bau menyengat mayat-mayat manusia teronggok dimana-mana. Walau hanya terlihat dari televisi, tapi baunya seperti merangsek masuk ke lubang hidung. Sesak juga terasa akibat dengan gampangnya keangkuhan manusia terobrak-abrik oleh kemarahan alam. Memprihatinkan, mengerikan bahkan mengenaskan.
Seketika, seluruh persada bergerak. Mengumpulkan pakaian bekas, mi instan, obat-obatan bahkan uang. Jejalan manusia membentuk barisan panjang di alur antrian, terlihat di setiap bank yang ada. Di salah satu bank, dalam antrian, juga ada aku. Dengan segepok uang duapuluh ribuan, yang telah kutarik dari rekening di bank lain via ATM. Awalnya aku hanya mau menyumbang paling tidak seratus ribu saja, namun karena hampir semua teman kantorku menyumbang minimum sejuta, akupun ikut. Kutarik dua setengah juta dari ATM. Lalu mengantri di bank lain yang menawarkan jasa pengumpulan dana. Begitu ceritanya.
Di depanku mengantri, ada seorang gadis cilik. Di tangan kanannya ada gemericing dari tutup botol alumonium yang diratakan dan di paku pada kayu kecil segenggaman. Sepertinya pengamen jalanan yang sering mangkal di lampu merah. Dua buah kaleng susu kecil, terkepit antara lengan kiri dan dadanya. Heran juga aku melihatnya. Tanpa sadar kutanya, “Mau nabung ya?”. Ditolehinya aku ke belakang, “Gak Om. Mau ikut nyumbang Tsunami di Aceh”. “Yee .... emang situ mau sumbang berapa?”, tanyaku mencibir. “Ya ... berapa aja deh yang ada di dua kaleng ini. Tapi kira-kira sih .... hmmm ... gak sampe duapuluh ribuan. Soalnya baru nabung setahun lalu sih. Jadi cuman bisa dapet dua kaleng. Tapi om, kan yang penting niatnya. Aku liat banyak anak-anak di sana gak bisa sekolah. Kan gak baik, kalo gak sekolah. Biar deh tabunganku ini buat mereka. Kali aja bisa buat beli buku pelajaran baru. Sebenernya, tabunganku ini buat sekolah lagi. Tapi biar mereka dululah yang sekolah. Kan aku bisa nyari duit lagi ..... nabung lagi ..... “, cerocosnya tersengal-sengal.
Terasa mukaku memanas. Keringatku mulai mengucur deras dari kepala, walau ruangan antrian ini ber-AC. Terbayang betapa pucatnya mukaku karena malu. Dua setengah juta ini ternyata tidak ada artinya dibanding dua kaleng susu penuh recehan seratusan. Dua setengah juta ini entah dari mana kudapat. Bisa dari proyek pemeliharaan jalan atau perbaikan irigasi desa tertinggal, yang berbalut mark up dana APBN. Sementara duapuluh ribuan dalam dua kaleng susu itu, bermateraikan peluh, airmata dan puasa berhari-hari. Belum lagi kesabaran yang luar biasa. Malu aku .......
Perlahan aku beringsut keluar dari antrian. Ku tahan maluku melewati orang-orang yang ikut mengantri. Sesampai di luar, berkali-kali kupukul kepalaku. Bodoh ... bodoh ...... Penjahat aku ini ...........
Sementara di dalam, antrian bergerak ke depan.
“Bu ... ini dua kaleng susu. Isinya penuh recehan seratusan loh! Semuanya untuk anak-anak di Aceh ya?”, katanya enteng. Kemudian bergegas bergerak menyamping dan melenggang keluar ruangan. Sepanjang jalannya keluar, semua mata tertuju ke arahnya. Nanar dan berkaca-kaca. Sementara dia hanya senyum. Senyum keikhlasan.

Cerita tentang Orang-orang Kalah (#2)

Hari panas. Hampir pukul 14 siang. Jalan penuh dengan angkot. Jalan protokol beruas dua saja masih terlalu padat untuk waktu macet dan kelas kota yang cukup terpandang ini. Berulang kali klakson memekakkan telinga, meneriaki orang, angkot lain yang berebut penumpang bahkan anjing yang menyeberang, namun tidak lewat jembatan penyeberangan. Hebat kan?
Hari masih terlalu panas untuk berjalan langsung di terik matahari. Makanya aku tetap saja jongkok di halte bus rusak dekat jembatan penyeberangan. Walau secara faktuil, halte itu sangat jarang disinggahi bus. Tapi entah mengapa sampai rusak separah itu; bangku jebol, tiang berlubang bahkan sebagian atapnya sudah tidak ada. Ah sudahlah ..... yang penting masih bisa dipakai bernaung.
Di sebelah halte, ada pohon akasia. Cukup rindang. Menariknya, di bawahnya duduk seorang tua. Ada dua bakul besar yang disatukan sebuah pikulan, di sebelahnya. Dalam masing-masing bakul itu ada setumpuk besar kelapa tak bersabut. Kira-kira 14 sampai 20-an buah. Terbayang betapa beratnya bakul-bakul itu dipikul. Namun anehnya, muka kepayahan sang tua, selalu tersungging senyum. Manis lagi. Maklum, mukanya masuk kategori babyface. Taksirku, umurnya sudah di ambang 60-an. Itu taksiran via wajah, belum tentu benar! Sambil mengipas-ngipas, dia masih saja tersenyum.
Keherananku mengalahkan panas. Kuhampiri sang tua itu. Dengan mata heran dan tak pernah lepas, kutanya dia, “Cape’ ya? Emang sudah laku banyak? Dari tadi pagi jualannya? ...”. Belum selesai pertanyaanku, dia memotong, “Gak. Cape’ itu bagian dari jualan. Kalo saya ngerasani cape’, yah .... harus. Wong cape’ itu resiko jualan! Manalagi emang sih, sepertinya harus cape’ ...... “ Diakhirinya dengan senyum. “Terus ... kalo emang cape’ karena harus, kok masih nyengar-nyengir gitu? Harus kan biasanya berarti terpaksa, jadi bapak mestinya tidak perlu senyum!”, sanggahku setengah merengut. Eh ... sang tua itu malah tertawa. Dan tertawa ...... Keherananku masih ada, semakin mengorek rasa ingin tahuku. Tapi tampaknya, sang tua sudah siap jualan lagi. Sembari membetulkan topi bambunya, dia berdiri. “Emang sudah laku berapa sih?”, tanyaku tanpa ragu. “Lima. Ya .... lima, sejak 3 hari lalu”, jawabnya tanpa menoleh ke arahku. “Lha ... kalo sulit laku, kenapa jualan terus?”, desakku lagi. Kali ini, dia berhenti berkemas. Ditatapnya mataku lekat-lekat. “Saya takut gak bisa senyum lagi, kalo berhenti jualan kelapa-kelapa ini”, jawabnya serius. Kemudian dia kembali senyum. Lepas beberapa saat, pikulan sudah di pundak. Dia mengangguk hormat, senyum, terus berjalan kembali di terik matahari.
Lama aku diam. Menatapnya sampai jauh. Saat sadar, kepalaku sudah cukup panas karena berdiri tanpa naungan atap halte. Bergegas kukembali ke halte yang sudah mulai sesak oleh orang-orang yang baru saja turun dari angkot. Kutoleh kembali ke arah sang tua berjalan. Jalannya kadang tersendat, karena terhalang angkot-angkot yang tiba-tiba memotong jalan tanpa lampu weser. Asap knalpot angkot-angkot itu juga mengerubunginya. Kadang membuatnya terbatuk. Tapi dia tetap saja berteriak menjaja kelapa, diseling riuhnya klakson angkot-angkot.
“Lapa ...... kelapa ......... kelapa .........”
“Piiiiippppppppp ......... piiiiiipppppppppp ....... piiiiippppppp .......”
Dan senyum itu masih tersungging di bibirnya. Sederet senyum kemenangan.

Tuesday, October 17, 2006

Cerita tentang Orang-orang Kalah (#1)

Kemarin, tatkala sudah sedemikan lelahnya berkeliling mengayuh mencari penumpang, seorang tukang becak akhirnya berhenti di bawah pohon beringin yang cukup rindang di bilangan selatan kota. Jalannya tidak ramai, jadi cukuplah membuat semua efek alam menggelayuti dan merangsang semua indranya untuk santai dan terbuai. Sebentar saja, ia terlelap, mendengkur dan sesekali mengelap liur yang mengalir keluar.
Tak seberapa lama, lewat sebuah mobil Volvo hitam dengan gagah dan menterengnya. Pada awalnya, mobil tersebut melaju dengan kencangnya; namun selang 50-an meter, mobil tersebut berhenti dan kemudian perlahan-lahan mundur mendekati sang tukang becak yang masih terlelap. Begitu berhenti, kaca pintu mobil bagian belakang perlahan-lahan turun otomatis; didalamnya melongok keluar kepala bapak konglomerat dengan kacamata bermerk terkenal dengan gagang emas. Matanya yang sayu menatap sang tukang becak dengan memelas, kemudian menunduk, melihat sekelilingnya, menarik napas panjang. Menggeleng berulang kali, kemudian menggangguk kepada supir. Perlahan mobil jalan kembali, namun kaca mobil tetap turun dan kedua mata sayu sang bapak konglomerat tetap menatap sang tukang becak yang masih terlelap. Tak terasa, kedua mata sayu tersebut, mengalirkan air. Walau tanpa isak, jelas terlihat penyesalan mendalam dari kedua mata tersebut. Seolah-olah sang mata berteriak, “Mengapa ia bisa tidur selelap itu? Sementara dia tidak punya apa yang aku punya, penthouse lengkap dengan segala perniknya yang akan memberikan penjaminan kelelapan istirahat yang amat baik! Apakah Tuhan tidak menginginkan aku istirahat di atas keringat kotorku? Atau tidur di atas berpeti uang korupsiku? Ahh .... Tuhan memang menghukumku!”. Perlahan pantat mobil menjauh, kemudian hilang di pertigaan.
Sejam kemudian, sang tukang becak terbangun dari lelapnya. Dilihatnya langit, sudah menjelang sore. Tapi itupun belum apa-apa, masih ada waktu untuk mengayuh lagi, mencari penumpang-penumpang. Di bibirnya merekah senyum, “Hidup ini indah ....” ucapnya. Maka becak pun dikayuhnya kembali. Dia tidak pernah sadar, kalo senyumnya itu adalah senyum kemenangan sebuah pertempuran kehidupan.

Wednesday, September 13, 2006

Teman dan Sahabat

Ada satu perbedaan antara menjadi seorang kenalan dan menjadi seorang sahabat.
Pertama, seorang kenalan adalah seorang yang namanya kau ketahui, yang kau lihat berkali-kali, yang dengannya mungkin kau miliki persamaan, dan yang disekitarnya kau merasa nyaman.
Ia adalah orang yang dapat kau undang ke rumahmu dan dengannya kau berbagi. Namun mereka adalah orang yang dengannya tidak akan kau bagi hidupmu, yang tindakan-tindakannya kadang-kadang tidak kau mengerti karena kau tidak cukup tahu tentang mereka.
Sebaliknya, seorang sahabat adalah seseorang yang kau cintai.. Bukan karena kau jatuh cinta padanya, namun kau peduli akan orang itu, dan kau memikirkannya ketika mereka tidak ada.
Sahabat-sahabat adalah orang dimana kau diingatkan ketika kau melihat sesuatu yang mungkin mereka sukai, dan kau tahu itu karena kau mengenal mereka dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang fotonya kau miliki dan wajahnya selalu ada di kepalamu. Mereka adalah orang-orang yang kau lihat dalam pikiran mu ketika kau mendengar sebuah lagu di radio karena mereka membuat dirimu berdiri untuk menghampiri mereka dan mengajak berdansa dengan mereka atau mungkin kau yang berdansa dengan mereka, mungkin mereka menginjak jari kakimu, atau sekedar menempatkan kepala mereka di pundakmu. Mereka adalah orang-orang yang diantaranya kau merasa aman karena kau tahu mereka peduli terhadapmu. Mereka menelpon hanya untuk mengetahui apa kabarmu, karena sahabat sesungguhnya tidak butuh suatu alasanpun. Mereka berkata jujur-pertama kali dan kau melakukan hal yang sama. Kau tahu bahwa jika kau memiliki masalah, mereka akan bersedia mendengar. Mereka adalah orang-orang yang tidak akan menertawakanmu atau menyakitimu, dan jika mereka benar-benar menyakitimu, dan jika mereka benar-benar menyakitimu, mereka akan berusaha keras untuk memperbaikinya. Mereka adalah orang-orang yang kau cintai dengan sadar ataupun tidak. Mereka adalah orang-orang dengan siapa kau menagis ketika kau tidak diterima di perguruan tinggi dan selama lagu terakhir di pesta perpisahan kelas dan saat wisuda. Mereka adalah orang-orang yang pada saat kau peluk, kau tak akan berpikir berapa lama memeluk dan siapa yang harus lebih dahulu mengakhiri. Mungkin mereka adalah orang yang memegang cincin pernikahanmu, atau orang yang mengantarkan / mengiringmu pada saat pernikahanmu, atau mungkin adalah orang yang kau nikahi.

Today ... I start my new blog ...



Learning and learning ... all the time


Learn the secret of the sea?


Only those who brave it's dangers, comprehend its mystery


till my soul is full of longing


for the secret of the sea,


and the heart of the great ocean


send a thrilling pulse through me