Friday, October 20, 2006

Cerita tentang Orang-orang Kalah (#2)

Hari panas. Hampir pukul 14 siang. Jalan penuh dengan angkot. Jalan protokol beruas dua saja masih terlalu padat untuk waktu macet dan kelas kota yang cukup terpandang ini. Berulang kali klakson memekakkan telinga, meneriaki orang, angkot lain yang berebut penumpang bahkan anjing yang menyeberang, namun tidak lewat jembatan penyeberangan. Hebat kan?
Hari masih terlalu panas untuk berjalan langsung di terik matahari. Makanya aku tetap saja jongkok di halte bus rusak dekat jembatan penyeberangan. Walau secara faktuil, halte itu sangat jarang disinggahi bus. Tapi entah mengapa sampai rusak separah itu; bangku jebol, tiang berlubang bahkan sebagian atapnya sudah tidak ada. Ah sudahlah ..... yang penting masih bisa dipakai bernaung.
Di sebelah halte, ada pohon akasia. Cukup rindang. Menariknya, di bawahnya duduk seorang tua. Ada dua bakul besar yang disatukan sebuah pikulan, di sebelahnya. Dalam masing-masing bakul itu ada setumpuk besar kelapa tak bersabut. Kira-kira 14 sampai 20-an buah. Terbayang betapa beratnya bakul-bakul itu dipikul. Namun anehnya, muka kepayahan sang tua, selalu tersungging senyum. Manis lagi. Maklum, mukanya masuk kategori babyface. Taksirku, umurnya sudah di ambang 60-an. Itu taksiran via wajah, belum tentu benar! Sambil mengipas-ngipas, dia masih saja tersenyum.
Keherananku mengalahkan panas. Kuhampiri sang tua itu. Dengan mata heran dan tak pernah lepas, kutanya dia, “Cape’ ya? Emang sudah laku banyak? Dari tadi pagi jualannya? ...”. Belum selesai pertanyaanku, dia memotong, “Gak. Cape’ itu bagian dari jualan. Kalo saya ngerasani cape’, yah .... harus. Wong cape’ itu resiko jualan! Manalagi emang sih, sepertinya harus cape’ ...... “ Diakhirinya dengan senyum. “Terus ... kalo emang cape’ karena harus, kok masih nyengar-nyengir gitu? Harus kan biasanya berarti terpaksa, jadi bapak mestinya tidak perlu senyum!”, sanggahku setengah merengut. Eh ... sang tua itu malah tertawa. Dan tertawa ...... Keherananku masih ada, semakin mengorek rasa ingin tahuku. Tapi tampaknya, sang tua sudah siap jualan lagi. Sembari membetulkan topi bambunya, dia berdiri. “Emang sudah laku berapa sih?”, tanyaku tanpa ragu. “Lima. Ya .... lima, sejak 3 hari lalu”, jawabnya tanpa menoleh ke arahku. “Lha ... kalo sulit laku, kenapa jualan terus?”, desakku lagi. Kali ini, dia berhenti berkemas. Ditatapnya mataku lekat-lekat. “Saya takut gak bisa senyum lagi, kalo berhenti jualan kelapa-kelapa ini”, jawabnya serius. Kemudian dia kembali senyum. Lepas beberapa saat, pikulan sudah di pundak. Dia mengangguk hormat, senyum, terus berjalan kembali di terik matahari.
Lama aku diam. Menatapnya sampai jauh. Saat sadar, kepalaku sudah cukup panas karena berdiri tanpa naungan atap halte. Bergegas kukembali ke halte yang sudah mulai sesak oleh orang-orang yang baru saja turun dari angkot. Kutoleh kembali ke arah sang tua berjalan. Jalannya kadang tersendat, karena terhalang angkot-angkot yang tiba-tiba memotong jalan tanpa lampu weser. Asap knalpot angkot-angkot itu juga mengerubunginya. Kadang membuatnya terbatuk. Tapi dia tetap saja berteriak menjaja kelapa, diseling riuhnya klakson angkot-angkot.
“Lapa ...... kelapa ......... kelapa .........”
“Piiiiippppppppp ......... piiiiiipppppppppp ....... piiiiippppppp .......”
Dan senyum itu masih tersungging di bibirnya. Sederet senyum kemenangan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home