Friday, October 20, 2006

Cerita tentang Orang-orang Kalah (#3)

Tsunami Aceh, 26 Desember 2004, menyisakan sesak dalam dada yang teramat sempit. Sesak oleh bau menyengat mayat-mayat manusia teronggok dimana-mana. Walau hanya terlihat dari televisi, tapi baunya seperti merangsek masuk ke lubang hidung. Sesak juga terasa akibat dengan gampangnya keangkuhan manusia terobrak-abrik oleh kemarahan alam. Memprihatinkan, mengerikan bahkan mengenaskan.
Seketika, seluruh persada bergerak. Mengumpulkan pakaian bekas, mi instan, obat-obatan bahkan uang. Jejalan manusia membentuk barisan panjang di alur antrian, terlihat di setiap bank yang ada. Di salah satu bank, dalam antrian, juga ada aku. Dengan segepok uang duapuluh ribuan, yang telah kutarik dari rekening di bank lain via ATM. Awalnya aku hanya mau menyumbang paling tidak seratus ribu saja, namun karena hampir semua teman kantorku menyumbang minimum sejuta, akupun ikut. Kutarik dua setengah juta dari ATM. Lalu mengantri di bank lain yang menawarkan jasa pengumpulan dana. Begitu ceritanya.
Di depanku mengantri, ada seorang gadis cilik. Di tangan kanannya ada gemericing dari tutup botol alumonium yang diratakan dan di paku pada kayu kecil segenggaman. Sepertinya pengamen jalanan yang sering mangkal di lampu merah. Dua buah kaleng susu kecil, terkepit antara lengan kiri dan dadanya. Heran juga aku melihatnya. Tanpa sadar kutanya, “Mau nabung ya?”. Ditolehinya aku ke belakang, “Gak Om. Mau ikut nyumbang Tsunami di Aceh”. “Yee .... emang situ mau sumbang berapa?”, tanyaku mencibir. “Ya ... berapa aja deh yang ada di dua kaleng ini. Tapi kira-kira sih .... hmmm ... gak sampe duapuluh ribuan. Soalnya baru nabung setahun lalu sih. Jadi cuman bisa dapet dua kaleng. Tapi om, kan yang penting niatnya. Aku liat banyak anak-anak di sana gak bisa sekolah. Kan gak baik, kalo gak sekolah. Biar deh tabunganku ini buat mereka. Kali aja bisa buat beli buku pelajaran baru. Sebenernya, tabunganku ini buat sekolah lagi. Tapi biar mereka dululah yang sekolah. Kan aku bisa nyari duit lagi ..... nabung lagi ..... “, cerocosnya tersengal-sengal.
Terasa mukaku memanas. Keringatku mulai mengucur deras dari kepala, walau ruangan antrian ini ber-AC. Terbayang betapa pucatnya mukaku karena malu. Dua setengah juta ini ternyata tidak ada artinya dibanding dua kaleng susu penuh recehan seratusan. Dua setengah juta ini entah dari mana kudapat. Bisa dari proyek pemeliharaan jalan atau perbaikan irigasi desa tertinggal, yang berbalut mark up dana APBN. Sementara duapuluh ribuan dalam dua kaleng susu itu, bermateraikan peluh, airmata dan puasa berhari-hari. Belum lagi kesabaran yang luar biasa. Malu aku .......
Perlahan aku beringsut keluar dari antrian. Ku tahan maluku melewati orang-orang yang ikut mengantri. Sesampai di luar, berkali-kali kupukul kepalaku. Bodoh ... bodoh ...... Penjahat aku ini ...........
Sementara di dalam, antrian bergerak ke depan.
“Bu ... ini dua kaleng susu. Isinya penuh recehan seratusan loh! Semuanya untuk anak-anak di Aceh ya?”, katanya enteng. Kemudian bergegas bergerak menyamping dan melenggang keluar ruangan. Sepanjang jalannya keluar, semua mata tertuju ke arahnya. Nanar dan berkaca-kaca. Sementara dia hanya senyum. Senyum keikhlasan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home